PALEMBANG,KANALPOS.COM- Menurut cerita para sesepuh tari (Dalam Buku Tari Tanggai yang saya tulis berdasarkan Diskusi di DKP Tahun 2006), memang ada instruksi Gubernur Asnawi Mangku Alam tentang fungsi Tari Gending Sriwijaya yang diperuntukkan untuk menyambut orang pertama dalam satu negara (presiden, perdana menteri, raja dan lain- lainya). Namun, masalahnya instruksi Gubernur itu mungkin hanya sebatas lisan, Instruksi tertulis yang resmi tidak ditemukan. Nah di sinilah titik lemah dari kita untuk mengatakan bahwa Tari Gending Sriwijaya tidak boleh digunakan secara sembarangan.

“Jika ada yang bertanya apa dasar hukum kita melarang, kita tidak bisa menjawab, karena memang tidak ada.

Masalah kedua Sampai hari ini belum ada niat dari pemerintah, baik provinsi Sumatera Selatan maupun Kota Palembang untuk membuat peraturan tentang posisi Tari Sambut: Tari Gending Sriwijaya, Tari Tanggai.

Apapun bentuk kegiatan resmi di negara ini, haruslah berdasarkan hukum, atau menurut istilah hukum, harus ada legal standingnya. Jika tidak ada legal standingnya maka itu tidak sah secara hukum.

Apalagi Tari Gending Sriwijaya yang merupakan Warisan Budaya dari para pendahulu dan mengenang kebesaran sejarah Palembang dan memuat kearifan lokal digunakan sebagai Tari Sambut resmi pemerintahan.

Tari Gending Sriwijaya dianggap sah hanya karena ada kebiasaan yang sejak Proklamasi Kemerdekaan digunakan sebagai Tari Sambut. Begitu Juga Tari Tepak (kemudian Tanggai) sebagai turunan Tari Gending Sriwijaya dan terlahir karena insiden peristiwa pemberontakan G30S PKI.

Dalam catatan sejarah Pemerintahan Provinsi, hanya 2 bentuk tari inilah yang dianggap sebagai tari sambut yang sering digunakan. Lalu Pemerintah Kota Palembang pun kemudian menggunakan kedua tari ini sebagai tari sambut.

Tetapi, setali tiga uang dengan Pemerintah Sumatera Selatan, pemerintah Kota Palembang tidak kunjung pula membuat dasar hukumnya.

Dasar hukum tentang posisi Tari Sambut sangat penting untuk perlindungan dan pelestarian. Jika ada kasus penyalahgunaan fungsi dapat ditegur oleh Pemerintah dan Masyarakat.

Begitu pula jika ada yang mengaku-aku pencipta dari salah tari sambut tersebut, maka bisa saja kita laporkan sebagai pelanggar hak cipta (Plagiat).
Dari pokok pikiran yang saya sampaikan di atas, saya menyimpulkan bahwa Tari Sambut Sumatera Selatan dapat dikatakan antara ada dan tiada.

Ada karena berdasarkan cerita lisan dari mulut ke mulut dan bahkan tertulis dari beberapa catatan sejarah. Tiada atau tidak ada karena memang tidak pernah ditetapkan secara hukum (yuridis) oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan atau Pemerintah Kota Palembang sebagai Tari Sambut.